Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Pendahuluan
Transformasi layanan kesehatan di Posyandu merupakan salah satu upaya strategis pemerintah dalam meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Meskipun secara konseptual transformasi ini diharapkan mampu menghadirkan pelayanan kesehatan yang lebih terintegrasi dan menyeluruh, dalam praktiknya terdapat sejumlah tantangan yang menghambat implementasi yang optimal.
Konsep Teori dan Model yang Tidak Sejalan dengan Transformasi Posyandu
Salah satu teori yang relevan dalam menganalisis transformasi layanan kesehatan di Posyandu adalah teori System Thinking yang menekankan pentingnya sinergi dan keterkaitan antar komponen dalam sistem kesehatan. Dalam teori ini, sistem kesehatan idealnya harus mampu bekerja secara holistik, di mana setiap komponen—mulai dari tenaga kesehatan, infrastruktur, hingga masyarakat sebagai pengguna layanan—beroperasi secara terkoordinasi untuk mencapai hasil yang diinginkan (Meadows, 2008). Namun, implementasi transformasi di Posyandu sering kali terkendala oleh fragmentasi antara komponen-komponen ini.
Sebagai contoh, meskipun transformasi bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai program kesehatan ke dalam satu Posyandu, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan koordinasi antara Posyandu dengan Puskesmas atau Pustu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya sumber daya, baik dalam hal tenaga kesehatan maupun infrastruktur pendukung. Fragmentasi ini menyebabkan layanan yang diberikan di Posyandu tidak sepenuhnya terintegrasi, sehingga efektivitas pelayanan menurun dan tujuan transformasi tidak tercapai sepenuhnya.
Selain itu, teori Diffusion of Innovations yang dikemukakan oleh Rogers (2003) dapat menjadi acuan dalam menganalisis mengapa transformasi layanan kesehatan di Posyandu menghadapi hambatan. Menurut teori ini, adopsi inovasi dalam sistem kesehatan sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk karakteristik inovasi itu sendiri, struktur sosial, saluran komunikasi, dan waktu. Transformasi di Posyandu dapat dianggap sebagai inovasi dalam layanan kesehatan yang membutuhkan adaptasi dari berbagai pihak, mulai dari tenaga kesehatan hingga masyarakat pengguna layanan.
Namun, adopsi inovasi ini tidak selalu berjalan mulus. Salah satu tantangan utama adalah rendahnya tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya Posyandu sebagai pusat layanan kesehatan. Rendahnya kesadaran ini sering kali menyebabkan kurangnya kunjungan ke Posyandu, yang pada gilirannya menghambat pencapaian target layanan kesehatan yang diharapkan. Hal ini dapat diperburuk oleh minimnya upaya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya Posyandu di era transformasi ini.
Kunjungan ke Posyandu yang Kurang dan Implikasinya
Salah satu indikator utama keberhasilan transformasi Posyandu adalah peningkatan jumlah kunjungan masyarakat ke Posyandu. Namun, data menunjukkan bahwa tingkat kunjungan ke Posyandu masih jauh dari yang diharapkan. Menurut survei yang dilakukan di beberapa wilayah, hanya sekitar 60-70% keluarga yang secara rutin membawa anak-anak mereka ke Posyandu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar (Kementerian Kesehatan RI, 2024). Angka ini menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 30-40% keluarga yang tidak memanfaatkan layanan Posyandu secara optimal.
Beberapa faktor dapat menjelaskan rendahnya kunjungan ini. Pertama, masih adanya persepsi di kalangan masyarakat bahwa Posyandu hanya menyediakan layanan kesehatan untuk ibu dan anak, sehingga kelompok usia lain seperti remaja, dewasa, dan lansia merasa tidak membutuhkan layanan di Posyandu. Padahal, transformasi yang dilakukan saat ini telah mengubah fungsi Posyandu menjadi lebih inklusif, melayani seluruh siklus kehidupan mulai dari bayi hingga lansia.
Kedua, kendala geografis juga menjadi faktor penghambat. Di daerah terpencil atau dengan akses transportasi yang terbatas, masyarakat cenderung enggan mengunjungi Posyandu karena jarak yang jauh dan sulitnya mencapai lokasi. Meskipun telah ada upaya untuk meningkatkan aksesibilitas dengan menambah jumlah Posyandu atau memperkuat jejaring layanan melalui Pustu, masalah geografis ini tetap menjadi tantangan yang signifikan.
Ketiga, rendahnya kunjungan ke Posyandu juga dapat dikaitkan dengan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diberikan. Dalam beberapa kasus, masyarakat lebih memilih untuk langsung mengunjungi fasilitas kesehatan yang lebih besar seperti Puskesmas atau rumah sakit, dengan asumsi bahwa layanan yang diberikan di sana lebih lengkap dan berkualitas. Hal ini menyoroti pentingnya peningkatan mutu layanan di Posyandu agar masyarakat lebih percaya dan mau memanfaatkan layanan yang tersedia.
Analisis Isu Lain dalam Implementasi Transformasi Posyandu
Selain rendahnya kunjungan ke Posyandu, terdapat isu lain yang juga menjadi tantangan dalam implementasi transformasi ini. Salah satunya adalah masalah kapasitas dan kapabilitas tenaga kesehatan, khususnya kader Posyandu. Meskipun kader telah mendapatkan pelatihan dan peningkatan keterampilan, dalam praktiknya masih banyak kader yang merasa belum siap atau kurang percaya diri dalam menjalankan tugas mereka. Hal ini dapat disebabkan oleh minimnya pendampingan dan supervisi dari tenaga kesehatan profesional, serta terbatasnya sumber daya yang tersedia untuk mendukung kegiatan kader di lapangan (Syarkiah, 2024).
Selain itu, tantangan lainnya adalah resistensi dari pihak-pihak tertentu terhadap perubahan. Dalam teori Lewin’s Change Management Model, perubahan sering kali menghadapi resistensi, terutama ketika perubahan tersebut dianggap mengancam stabilitas atau kenyamanan yang sudah ada sebelumnya (Lewin, 1947). Dalam konteks transformasi Posyandu, resistensi ini bisa datang dari berbagai pihak, termasuk tenaga kesehatan yang merasa beban kerja mereka meningkat, atau masyarakat yang merasa kurang nyaman dengan perubahan yang terjadi.
Isu lain yang juga perlu diperhatikan adalah keberlanjutan program transformasi ini. Meskipun pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan transformasi secara menyeluruh, keberlanjutan program ini sangat bergantung pada dukungan anggaran dan sumber daya yang memadai. Tanpa dukungan yang konsisten, transformasi ini berisiko terhenti di tengah jalan atau tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan.
Tantangan Implementasi dari Perspektif Teori dan Realitas
Mengacu pada teori Institutional Isomorphism yang dikemukakan oleh DiMaggio dan Powell (1983), transformasi Posyandu juga dihadapkan pada tantangan homogenisasi dalam implementasinya. Teori ini menyatakan bahwa organisasi cenderung mengadopsi praktik-praktik yang serupa dalam upaya untuk mencapai legitimasi dan efisiensi. Dalam hal Posyandu, homogenisasi ini terlihat dari upaya untuk menerapkan standar layanan yang sama di semua Posyandu, tanpa mempertimbangkan karakteristik unik dari setiap wilayah atau komunitas.
Namun, pendekatan yang seragam ini sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Di beberapa daerah, standar layanan yang ditetapkan tidak dapat sepenuhnya diterapkan karena keterbatasan sumber daya atau kondisi sosial-budaya yang berbeda. Sebagai contoh, di daerah pedesaan dengan akses yang terbatas, standar layanan yang mengharuskan kunjungan rutin ke Posyandu mungkin sulit diterapkan, mengingat jarak yang jauh dan minimnya sarana transportasi. Ini menunjukkan bahwa meskipun homogenisasi dapat meningkatkan efisiensi, namun dalam konteks transformasi Posyandu, pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif mungkin diperlukan untuk memastikan keberhasilan implementasi.
Selain itu, dari perspektif Theory of Planned Behavior yang dikemukakan oleh Ajzen (1991), keberhasilan transformasi Posyandu sangat dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol perilaku masyarakat. Sikap positif terhadap Posyandu, dukungan dari tokoh masyarakat, serta persepsi bahwa layanan di Posyandu mudah diakses dan bermanfaat, semuanya berperan penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Namun, jika sikap masyarakat terhadap Posyandu masih negatif atau ada persepsi bahwa layanan yang diberikan tidak memadai, maka upaya untuk meningkatkan kunjungan ke Posyandu akan menghadapi hambatan yang signifikan.
Kesimpulan
Transformasi layanan kesehatan di Posyandu merupakan upaya yang ambisius dan sangat diperlukan dalam meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Namun, seperti yang telah diuraikan di atas, implementasi transformasi ini tidak lepas dari berbagai tantangan dan hambatan. Beberapa teori dan model menunjukkan bahwa keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada koordinasi yang baik antara berbagai komponen dalam sistem kesehatan, adopsi inovasi yang efektif, serta respons terhadap tantangan lokal yang mungkin tidak dapat diatasi dengan pendekatan yang seragam.
Guna mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif, serta dukungan yang berkelanjutan dari semua pihak, termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Dengan demikian, transformasi Posyandu tidak hanya akan menjadi sekadar perubahan dalam sistem layanan kesehatan, tetapi juga menjadi langkah maju dalam mewujudkan masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera.
Referensi
- 1. Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. *Organizational Behavior and Human Decision Processes*, 50(2), 179-211.
- 2. DiMaggio, P. J., & Powell, W. W. (1983). The Iron Cage Revisited: Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields. American Sociological Review, 48(2), 147-160
- 3. Lewin, K. (1947). Frontiers in Group Dynamics: Concept, Method and Reality in Social Science; Social Equilibria and Social Change. Human Relations, 1(1), 5-41.
- 4. Meadows, D. H. (2008). Thinking in Systems: A Primer. Chelsea Green Publishing.
- 5. Rogers, E. M. (2003). Diffusion of Innovations (5th ed.). Free Press.
- 6. Syarkiah, S.Gz., MM. (2024). Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer (ILP) di Posyandu. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan.
- 7. Kementerian Kesehatan RI. (2024). Transformasi Layanan Kesehatan di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.