DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Pengurus Pusat LAFKI) |
Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Pengurus Pusat LAFKI)
Babak Awal: Di Tengah Badai, Harapan Mencari Jalan
Di tengah keheningan malam yang dipecahkan oleh suara hujan yang mengguyur deras, sebuah rumah sakit besar tampak seperti benteng yang berdiri kokoh menghadapi amukan badai. Di dalamnya, hiruk-pikuk ruang gawat darurat terus berdenyut, tak terpengaruh oleh badai yang mendera di luar. Bau antiseptik yang menyengat bercampur dengan aroma kecemasan dan ketergesaan yang menguasai lorong-lorong rumah sakit. Di sinilah Dr. Rendra, seorang dokter senior yang telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya di rumah sakit ini, berdiri dengan hati yang gundah.
Malam itu, angin kencang membawa lebih dari sekadar hujan. Seorang pemuda yang terlibat dalam kecelakaan mobil dibawa masuk ke ruang gawat darurat dengan luka-luka yang parah. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal. Tim medis bergegas, berusaha menyelamatkan nyawanya. Namun, dalam ketergesaan yang memuncak, sebuah kesalahan fatal terjadi—dosis obat yang salah diberikan. Semua orang di ruangan itu tahu apa yang telah terjadi ketika pemuda itu mulai kehilangan kesadaran lebih cepat dari yang diharapkan. Mereka berusaha memperbaiki kesalahan itu, tetapi sudah terlambat. Pemuda itu meninggal di hadapan mereka, meninggalkan ruang gawat darurat dalam keheningan yang mencekam.
Dr. Rendra, yang selama ini dikenal sebagai dokter yang tegas namun penuh belas kasih, merasakan hantaman keras di hatinya. Ia tahu, ini bukan kali pertama kesalahan seperti ini terjadi, dan yang lebih buruk lagi, ini bukan yang terakhir jika tidak ada yang berubah. Ia berdiri di tengah badai yang bergemuruh di luar, sementara dalam dirinya sendiri terjadi badai yang lebih dahsyat. Dengan tekad yang dibakar oleh rasa bersalah dan tanggung jawab, Dr. Rendra bersumpah untuk mengubah rumah sakit ini menjadi benteng keselamatan pasien—tempat di mana setiap nyawa dihargai, dan setiap tindakan dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.
Membangun Fondasi: Perjalanan Panjang Menuju Perubahan
Perubahan yang dibayangkan Dr. Rendra bukanlah hal yang mudah. Rumah sakit ini telah beroperasi selama puluhan tahun dengan budaya kerja yang telah mengakar kuat. Para dokter dan perawat sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan yang luar biasa, dengan jam kerja yang panjang dan beban yang terus bertambah. Mereka sering kali merasa bahwa prosedur keselamatan hanyalah beban tambahan yang menghambat kerja mereka. Namun, Dr. Rendra tahu bahwa keselamatan pasien harus menjadi prioritas utama, dan untuk mencapai itu, ia harus memulai dari dasar—dari perilaku setiap individu di rumah sakit ini.
Ia memulai dengan langkah-langkah kecil namun bermakna. Setiap minggu, ia mengadakan sesi pelatihan yang tidak hanya berfokus pada keterampilan medis, tetapi juga pada pentingnya keselamatan pasien. Setiap insiden, termasuk yang mengakibatkan kematian pemuda itu, diuraikan secara mendalam. Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang disalahkan. Sebaliknya, setiap kesalahan dianalisis sebagai peluang untuk belajar dan mencegah kejadian serupa di masa depan. Para staf didorong untuk berbicara, berbagi pengalaman mereka, dan mencari solusi bersama.
Namun, resistensi muncul. Banyak dokter dan perawat yang merasa bahwa mereka sudah bekerja di bawah tekanan yang besar, dan menambah "prosedur keselamatan" hanya akan memperberat beban kerja mereka. Beberapa bahkan merasa bahwa kesalahan adalah bagian dari pekerjaan di dunia yang serba cepat dan tidak pasti seperti ini. Tetapi Dr. Rendra tidak mundur. Ia tahu bahwa untuk merubah perilaku, ia harus melibatkan semua orang dalam proses ini. Ia menggunakan pendekatan penguatan sosial, seperti yang diuraikan oleh Bandura (1977), di mana perilaku yang mendukung keselamatan pasien diberi penghargaan dan diakui. Penghargaan diberikan bukan hanya untuk kesuksesan medis, tetapi juga untuk tindakan-tindakan kecil yang menjaga keselamatan pasien, seperti memeriksa kembali dosis obat atau memverifikasi identitas pasien sebelum prosedur.
Transformasi Perilaku: Perjalanan dari Individual ke Kolektif
Seiring waktu, perilaku yang diajarkan oleh Dr. Rendra mulai meresap ke dalam rutinitas harian para staf. Perawat yang dulunya meremehkan prosedur baru, kini melakukannya tanpa berpikir dua kali. Dokter-dokter muda yang baru bergabung pun dengan cepat menyesuaikan diri, menyadari bahwa perilaku ini adalah bagian dari identitas profesional mereka. Transformasi ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh penguatan sosial dalam membentuk perilaku baru, terutama ketika perilaku tersebut konsisten didukung dan diberi penghargaan.
Namun, perjalanan ini tidak mulus. Ada momen-momen di mana kesalahan masih terjadi, dan setiap kesalahan itu seperti menggores luka lama yang belum sembuh. Namun, daripada menyerah pada keputusasaan, Dr. Rendra menggunakan setiap kesalahan sebagai alat untuk memperkuat komitmen terhadap keselamatan pasien. Dalam setiap kesalahan, ada pelajaran yang bisa dipetik, dan pelajaran itu segera diintegrasikan ke dalam sistem rumah sakit. Di sinilah relevansi teori pembentukan kebiasaan mulai terlihat jelas. Menurut Lally et al. (2010), rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk sebuah perilaku menjadi kebiasaan adalah sekitar 66 hari, namun untuk perilaku yang melibatkan keselamatan pasien, proses ini bisa memakan waktu lebih lama karena kompleksitas dan tekanan yang terlibat.
Budaya Keselamatan Pasien: Menjadi Identitas Rumah Sakit
Lambat laun, perilaku yang dulunya hanya dilakukan karena kewajiban kini menjadi bagian dari budaya rumah sakit. Keselamatan pasien tidak lagi dilihat sebagai tugas tambahan, tetapi sebagai inti dari setiap tindakan medis yang dilakukan. Setiap anggota staf, tanpa memandang jabatan atau departemen, merasa bahwa mereka memiliki peran dalam menjaga keselamatan ini. Budaya ini telah menjadi bagian dari identitas kolektif rumah sakit.
Menurut teori identitas sosial oleh Tajfel dan Turner (1979), individu cenderung mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok sosial yang lebih besar dan menginternalisasi norma serta nilai-nilai kelompok tersebut sebagai bagian dari identitas mereka sendiri. Di rumah sakit ini, budaya keselamatan pasien telah diadopsi dan diinternalisasi oleh setiap individu, sehingga mereka tidak hanya berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga aktif mencari cara untuk meningkatkan sistem dan prosedur yang ada.
Perubahan ini juga mencerminkan teori difusi inovasi oleh Rogers (2003), di mana adopsi perilaku baru dalam suatu populasi mengikuti kurva distribusi normal. Dalam kasus ini, Dr. Rendra dan tim pelatihan keselamatan pasien dapat dianggap sebagai inovator yang memulai perubahan, sementara para dokter dan perawat yang mulai mengikuti prosedur keselamatan adalah early adopters yang membawa perubahan ini ke mayoritas staf rumah sakit. Seiring waktu, perilaku keselamatan ini menyebar ke seluruh staf, hingga akhirnya menjadi bagian dari budaya rumah sakit.
Peran Waktu dalam Pembentukan Budaya
Pembentukan budaya keselamatan pasien di rumah sakit ini bukanlah proses yang instan. Ini memerlukan waktu, pengulangan, dan penguatan yang konsisten. Menurut berbagai studi psikologi sosial, pembentukan kebiasaan pribadi dapat terjadi dalam waktu sekitar 18 hingga 254 hari, dengan rata-rata 66 hari untuk sebuah tindakan menjadi kebiasaan otomatis (Lally et al., 2010). Namun, untuk perilaku yang terintegrasi ke dalam budaya kolektif, proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Selama proses ini, penting untuk terus memberikan dukungan dan penguatan kepada semua anggota staf. Teori Locus of Control oleh Rotter (1966) menekankan bahwa individu yang merasa memiliki kendali atas hasil dari tindakan mereka lebih mungkin untuk terlibat aktif dalam tindakan yang mendukung keselamatan pasien. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap anggota staf merasa memiliki peran penting dalam menjaga budaya keselamatan ini, dan bahwa kontribusi mereka diakui dan dihargai.
Kesimpulan: Ketika Keselamatan Menjadi Jiwa Rumah Sakit
Perjalanan membangun budaya keselamatan pasien di rumah sakit ini adalah sebuah epik yang melibatkan transformasi mendalam dalam perilaku dan cara berpikir semua pihak yang terlibat. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah insiden tragis memicu perubahan yang meluas, mengubah perilaku individu menjadi kebiasaan kolektif, dan akhirnya menciptakan budaya yang mengakar kuat dalam identitas rumah sakit.
Budaya keselamatan pasien bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dengan cepat atau mudah. Ia membutuhkan komitmen jangka panjang, evaluasi berkelanjutan, dan kemauan untuk terus belajar dari setiap kesalahan. Namun, hasil dari upaya ini tidak dapat disangkal—pasien merasa lebih aman, staf bekerja dengan lebih percaya diri, dan rumah sakit secara keseluruhan dapat berfungsi sebagai benteng yang menjaga nyawa dan kesejahteraan setiap individu yang melintasi pintunya. Baca Juga: Simfoni Kebiasaan: Mengurai Harmoni Perilaku dalam Penguasaan Diri dan Kehidupan Kolektif.
Di dunia medis yang serba dinamis dan penuh tekanan, penting bagi setiap rumah sakit untuk menyadari bahwa keselamatan pasien harus selalu menjadi prioritas utama. Dengan mengadopsi teori dan model pembentukan perilaku serta budaya, rumah sakit dapat membangun sistem yang tidak hanya efektif dalam mencegah kesalahan, tetapi juga dalam menciptakan lingkungan di mana keselamatan pasien adalah nilai yang dijunjung tinggi oleh setiap orang di dalamnya. Dengan demikian, budaya keselamatan pasien tidak hanya menjadi sebuah standar operasional, tetapi juga sebuah misi suci yang diemban oleh seluruh komunitas medis.