Jakarta - Hasyim Asy'ari, Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) RI periode 2022-2027 telah dipecat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait aduan kasus asusila (Detik Jateng, 4 Juli 2024). Putusan yang dijatuhkan DKPP pada hari Rabu, 3 Juli 2024 ini, menyusul pemberhentian sementara sebagai PNS dari dosen Undip (Universitas Diponegoro) Semarang, seperti yang diungkapkan Manajer Layanan Terpadu dan Humas, Undip, Utami Setyowati kepada media, Kamis, 4 Juli 2024.

Sanksi pemberhentian tetap terhadap Ketua KPU, Hasyim Asy'ari karena terbukti bersalah dalam perkara tindak asusila terhadap salah seorang PPLN (Panita Pemilihan Luar Negeri) untuk wilayah Eropa. Melalui sidang yang dipimpin Ketua DKPP, Heddy Lugito Hasyim Asy'ari jelas dinyatakan melanggar etik, karena melakukan tindakan asusila terhadap seorang perempuan, Panitia Pemilihan Luar Negeri yang berada di Den Haag, Belanda. Jadi pemberhentian Ketua KPU, Hasyim Asy'ari yang juga merangkap anggota KPU terhitung sejak pembacaan putusan dibacakan, ujar Heddy Lugito pada sidang DKPP yang dibacakan Rabu, 3 Juli 2024.

Dari berbagai catatan, pelanggaran KEPP (Kode Etik Pelanggaran Pemilu) sudah berulang kali dilakukan Hasyim Asy'ari. Sehingga dia sudah berulang kali dilaporkan ke DKPP, namun belum dapat diambil tindakan. Karena itu, DKPP mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera melaksanakan putusan DKPP paling lambat tujuh hari sejak putusan DKPP ini ditetapkan. Artinya, paling lambat tanggal 10Juli 2024 (setelah tujuh hari dari tanggal penetapan putusan DKPP pada 3 Juli 2024), warga bangsa Indonesia akan segera menyaksikan putusan yang dilakukan Presiden terhadap Ketua KPU yang ditetapkan DKPP melanggar etik dan telah mendapat sanksi pemecatan itu.

Pelanggaran etik yang dilakukan Ketua KPU ini kembali memutar ulang memori publik Indonesia --bahkan dunia -- tentang pelanggaran yang pernah juga dilakukan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) dalam menetapkan calon wakil Presiden boleh dilakukan dengan mengubah batasan usia yang calon wakil Presiden Indonesia untuk menjadi peserta Pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2024.

Kegandrungan untuk melanggar etik ini bagi aparatur negara Indonesia pada sepuluh tahun belakangan ini jelas menunjukkan kebobrokan moral yang abai pada nilai-nilai spiritual. Sebab pelanggaran etik itu artinya abai terhadap adat istiadat -- tatanan dasar dari norma kepatutan -- yang berarti menandai sikap orang yang bersangkutan itu tidak beradab.

Padahal, tidak beradabnya seorang manusia itu dapat dipastikan tidak taat kepada hukum. Tapi realitasnya di Indonesia, pelanggaran terhadap etika itu dianggap lebih rendah dari pelanggaran hukum. Sehingga praktek dalam menegakan hukum di Indonesia masih mendapat permakluman ketika terbukti melanggar etik. 

Sungguh aneh dan ajaib di negeri yang memposisikan hukum sebagai panglima ini, karena diperkenankan untuk ditegakkan dengan cara melabrak etika. Sehingga untuk mereka yang melakukan pelanggaran etik itu dianggap cukup mendapat sanksi moral belaka, tak ada sanksi hukumnya. Jadi penegakan hukum di negara hukum ini boleh dilakukan tanpa etika, moral, apalagi dengan nilai-nilai spiritual. ***