Foto istimewa |
Jakarta - Sistem kelas 1, 2, 3 dalam Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan dihapus. Untuk gantinya, BPJS Kesehatan akan menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Aturan terbit pada 8 Mei 2024 tersebut telah ditandatangani Presiden Jokowi.
Aturan mengenai KRIS ada dalam Pasal 46A mensyaratkan kriteria fasilitas perawatan dan pelayanan rawat inap KRIS meliputi komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi, terdapat ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, termasuk temperatur ruangan.
Selain itu, penyedia fasilitas layanan juga perlu membagi ruang rawat berdasarkan jenis kelamin pasien, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.
Kriteria lainnya adalah keharusan bagi penyedia layanan untuk mempertimbangkan kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, penyediaan tirai atau partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap yang memenuhi standar aksesibilitas, dan menyediakan outlet oksigen.
Perpres yang diteken Presiden Jokowi pada 8 Mei 2024 itu juga mengatur hak peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk meningkatkan perawatan yang lebih tinggi, termasuk rawat jalan eksekutif.
Pada pasal 51 disebutkan ketentuan naik kelas perawatan dilakukan cara mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan.
Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya pelayanan dapat dibayar oleh peserta bersangkutan, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan.
Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dengan manfaat layanan di ruang perawatan kelas III.
Sesuai pasal 103B menyatakan penerapan KRIS secara menyeluruh pada rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan diterapkan paling lambat 30 Juni 2025.
Dalam jangka waktu tersebut, rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS sesuai dengan kemampuan rumah sakit.
Dengan aturan tersebut, setiap rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS wajib memberlakukan sistem KRIS paling lambat pada 30 Juni 2025.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mewanti-wanti Pemerintah untuk mengkaji secara matang penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) agar tidak menyebabkan kerugian pada peserta program JKN dan layanan kesehatan.
Menurutnya, jika KRIS diberlakukan maka dapat berpotensi merugikan peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebab, peserta kelas tiga akan mengalami kenaikan iuran, sementara peserta kelas satu akan mengalami penurunan kelas menjadi kelas standar, yakni kelas dua.
“Secara filosofis dan sosiologis, KRIS tidak punya landasan yang jelas dan konkrit. Padahal saat ini yang dibutuhkan konsumen alias peserta JKN adalah standarisasi pelayanan untuk semua kategori peserta dan kelas JKN,” tuturnya.
Menurut Tulus, kerugian KRIS yang lain adalah jika peserta JKN tidak mau dengan pelayanan kelas standar, maka peserta tersebut akan diminta memilih rumah sakit lain yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Rumah sakit lain yang dimaksud bisa rumah sakit swasta yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, yang notabene cenderung lebih mahal.
Bagi rumah sakit, lanjut Tulus, KRIS akan menciptakan bom waktu karena rumah sakit harus menata ulang infrastruktur, baik ruangan dan alat-alat kesehatan.
“Pendapatan rumah sakit juga akan tergerus. Program KRIS akan berbuntut panjang menciptakan clustering baru rumah sakit, yaitu rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Rumah sakit yang berbasis JKN akan dianggap rumah sakit kelas bawah, sementara yang tidak bekerja sama akan dicitrakan sebagai rumah sakit dengan pelayanan yang lebih andal. Ini bahaya,” kata Tulus.
Mempertimbangkan berbagai situasi tersebut, Tulus pun meminta agar Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tidak perlu memaksakan KRIS. Wacana kebijakan KRIS dinilainya harus ditelaah dengan baik, tidak terburu-buru, demi kepentingan peserta JKN.
“Jika kebijakan KRIS terwujud, ini bisa jadi upaya menenggelamkan Program JKN dan BPJS Kesehatan. Tidak relevan kalau dibilang KRIS ini untuk menyelamatkan finansial BPJS Kesehatan, karena aspek finansial BPJS Kesehatan sudah surplus. Jangan sampai KRIS ini di kemudian hari menimbulkan anomali dan persoalan yang lebih complicated. Bagi konsumen, yang sangat mendesak sekarang adalah standarisasi pelayanan, bukan kelas standar,” tegasnya. (Red)