Subang - Bus yang membawa rombongan siswa SMK Lingga Kencana, Depok mengalami kecelakaan maut di Ciater, Subang, Jawa Barat, Sabtu (11/5) malam. Insiden ini menyebabkan 11 orang meninggal dunia.
Kepolisian sampai saat ini masih terus melakukan penyelidikan untuk mengusut penyebab insiden kecelakaan tersebut.
Berikut rangkuman sejumlah fakta terbaru terkait insiden kecelakaan maut tersebut, sebagai berikut:
Kernet bus saksi kunci
Polisi telah mengamankan kernet bus maut tersebut. Kernet bus tersebut pun diperiksa selaku saksi kunci untuk mengusut insiden kecelakaan.
"Kenet sudah kita temukan juga, kita sudah amankan juga. Ini saksi kunci, sekarang sedang dalam pemeriksaan juga oleh penyidik Polres Subang," kata Dirlantas Polda Jawa Barat Kombes Wibowo saat dikonfirmasi, Senin (13/5).
Sementara untuk sopir bus, aampai saat ini masih menjalani perawatan di Klinik Dokkes Polres Subang. Kata dia, pihaknya akan segera memeriksa sopir setelah kondisinya pulih.
"Saat ini masih perawatan medis di klinik dokkes Polres Subang. Mudah-mudahan secepatnya bisa pulih sehingga kita bisa cepat lakukan pemeriksaan," ucap dia.
Sopir kelabakan
Sadira selaku sopir bus tersebut mengaku sudah merasakan ada permasalahan pada rem kendaraan sebelum terjadi insiden kecelakaan.
Ia juga mengeklaim dirinya sempat meminta montir untuk mengecek dan memperbaiki rem saat sedang beristirahat di rumah makan. Menurutnya, perjalanan baru dilanjutkan usai montir memastikan keadaan rem sudah kembali layak untuk jalan.
Namun, saat bus memasuki jalan menurun di kawasan Ciater, rem kembali bermasalah. Sadira menyebut saat itu angin rem telah habis sehingga menyebabkan kondisi rem blong.
"Terus ngerem kan, pas persneling mau saya masukin itu, enggak bisa masuk. Enggak tahunya angin (rem) benar-benar habis," ujarnya dikutip CNN Indonesia TV di RSUD Subang, Jawa Barat, Minggu (12/5).
Sadira mengaku saat itu ia mencoba mencari jalur penyelamat atau alternatif di sekitar lokasi. Tetapi, tidak ada jalur kosong yang bisa digunakan untuk mengurangi kecepatan.
"Saat itu saya kelabakan untuk (mencari jalur) penyelamat, jalur alternatif tidak ada. Akhirnya saya inisiatif (banting kanan)," katanya.
"Bagaimana kalau diterusin otomatis banyak mobil yang habis. Akhirnya saya buanglah ke kanan," imbuhnya.
Bus berstatus angkutan kota di Wonogiri
Dinas Perhubungan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah membeberkan bus maut tersebut masih berstatus sebagai bus antarkota dalam provinsi (AKDP).
"Kaitannya dengan kewenangan kami kan uji KIR. Dari dokumen kami, uji KIR ini berakhir Desember 2023, tapi statusnya itu masih AKDP," kata Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Wonogiri Waluyo, Minggu (12/5).
Tak hanya itu, Waluyo mengatakan bus dengan nama Trans Putera Fajar nomor polisi AD 7524 OG tersebut dinyatakan terlambat uji KIR.
Kata dia, seharusnya uji KIR dilakukan secara berkala setiap enam bulan sekali. Ia mengatakan untuk uji KIR meliputi uji umum, yakni kelaikan dan uji administrasi.
Selain itu, Waluyo juga membeberkan berdasarkan dengan dokumen bus tersebut, awalnya bernama Jaya Guna HG.
"Semua sudah dikonfirmasi, sifatnya bus itu sudah dilepas. Kalau kemudian terjadi seperti ini kan di luar kendali kami," katanya.
Bus tak berizin
Kementerian Perhubungan menyatakan Bus Trans Putera Fajar yang mengalami maut akhir pekan lalu itu tidak memiliki izin angkutan. Ini berdasarkan pelacakan yang dilakukan Kementerian Perhubungan di Aplikasi Mitra Darat.
"Mereka tak tercatat memiliki izin angkutan," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Hendro Sugiatno dalam keterangan resmi Minggu (12/5).
Selain tak memiliki izin angkutan, kata dia, status lulus uji berkala bus tersebut juga sudah berakhir pada 6 Desember lalu.
Terkait hal ini, lanjut Hendro, pihaknya menyerahkan kepada kepolisian. Pasalnya, PO bus yang tetap mengoperasikan kendaraannya meskipun tidak punya izin telah melakukan tindakan pidana.
"Menurut UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 310 menyebutkan setiap pengemudi yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan dan terdapat orang meninggal dunia dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta," katanya. (Red)