HM Syarbani Haira |
Banjarmasin - Warga Banua, siapa mereka ? Dalam perspective sosiologis kenegaraan, bisa dikatakan, mereka adalah warga negara atau penduduk negeri yang tinggal di kawasan banua. Dalam hal ini Banua Kalimantan Selatan adalah sebuah provinsi yang ada di pulau Kalimantan.
Dalam sejarahnya, tak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, sejumlah kawasan dan kepulauan menyatakan bergabung dengan NKRI. Mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya. Jadilah kawasan tersebut menjadi bagian dari negara baru bernama Indonesia.
Menurut berbagai document, pada awalnya di negeri ini pernah membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat), termasuk kawasan Kalimantan Pasca bubarnya RIS, tanggal 14 Agustus 1950 dibentuklah Provinsi Kalimantan, dengan gubernur pertama dr. Moerdjani. Dalam perjalanannya, 7 Desember 1956, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur berdiri sendiri. Begitu juga dengan Kalimantan Tengah, setahun kemudian, tepatnya 23 Mei 1957, pun menjadi provinsi sendiri.
Meski demikian, Kalimantan Selatan yang semula menjadi markaz utama pemerintahan kawasan Kalimantan, tetap mempertahankan tanggal 14 Agustus sebagai Hari Jadi Provinsi, hingga sekarang.
Secara geografik dan demografik, etnik di Bumi Kalimantan memang sangat kaya, beragam. Kawasan yang dulunya dikenal sebagai Bumi Borneo ini memiliki beragam etnik, bahasa dan kebudayaan. Ada Banjar, Dayak, Bakumpai, Maanyan, Bukit, Ngaju, Kutai, Melayu, dan sebagainya.
Hingga saat ini beragam etnik dan suku yang kini menjadi penghuni Bumi Kalimantan menjadi sangat beragam. Ini sejalan dengan globalisasi, serta interaksi antar etnik yang memungkinkan adanya kolaborasi, perkawinan, serta tekad kebersamaan.
Banua, berasal dari bahasa Indonesia, yaitu benua. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), benua adalah bagian bumi berupa tanah atau daratan yang sangat luas sehingga bagian tengah benua itu tidak mendapat pengaruh langsung dari angina laut.
Dalam Bahasa Inggris disebut continent, yang dalam kamus Oxford disebut dengan istilah “satu daratan besar di permukaan bumi”.
Di bumi ini sedikitnya ada tujuh benua, terbentang luas dari kawasan Asia hingga Kutub Selatan bumi ini. Ketujuh benua itu adalah, Benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Australia, dan Antartika.
Meski tergolong besar, Bumi Kalimantan masuk dalam kawasan Benua Asia. Tepatnya kawasan Asia Tenggara.
Luas bumi ini keseluruhan tercatat 510.1 juta kilometer persegi. Sedang luas bumi Kalimantan tercatat 743.330 kilometer persegi. Di kawasan bumi Kalimantan ini terdapat 3 negara, masing-masing Indonesia (sekitar 73 %), Malaysia (26 %), dan 1 % sisanya menjadi milik kawasan Brunei Darussalam.
Benua Asia memiliki 49 negara, tersebar di Asia Selatan, Asia Barat, Asia Tenggara, Asia Tengah, dan sebagainya. Uniknya, sedikitnya ada 5 negara yang menjadi lintas benua, karena kelima negara tersebut juga tersambung dengan Benua Eropa. Kelima negara tersebut adalah, Georgia, Azerbaijan, Rusia, Kazakhstan, dan Turkiye.
Benua Amerika Selatan memiliki 18 negara, seperti Brazil, Argentina, Peru, chili, dan sebagainya. Sedangkan Benua Amerika Utara memiliki 36 negara, seperti Kanada, Meksiko, Kuba, Kosta Rika, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Sedangkan Benua Eropa memiliki 51 negara, umumnya kecil-kecil dan penduduknya sedikit, selain ada juga yang luas dan besar. Salah satunya Jerman. Sedangkan Benua Australia hanya milik negara Australia, kawasan luas yang terhampar masih kosong tak berpenghuni.
Sedangkan Benua Antartika sebuah kawasan yang sangat dingin, bisa mencapai minus 50 derajat. Karena suhu yang dingin ini maka tak ada manusia yang siap menempati benua satu ini. Namun kawasan ini telah menjadi ajang penelitian akademik, dari banyak negara.Meski demikian, pada tahun 1840 Perancis pernah mengklaim kawasan ini merupakan wilayah mereka. Belakangan, pada pertengahan abad ke-20 muncul piula klaim serupa, misalnya Inggris, Selandia baru, Norwegia, Australia, Chili, Argentina, dan Jerman.
Istilah banua ini kembali menjadi sangat popular ketika Pilkada tahun 2004. Kala itu salah satu pasangan calon gubernur menyebut mereka sebagai orang banua. Kejadian ini muncul kembali dalam pilkada tahun 2014, ada pasangan calon gubernur menggunakan jargon Asli Banua.
Mulai 2024 besok, saat pileg, pilpres, dan pilkada serentak, warga banua saatnya perlu berpikir rasional, dan bersikap lebih profesional. Saatnya warga banua yang sudah semakin terdidik, cerdas dan agamis tersebut, mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apalagi dalam memilih pemimpin, entah itu presiden/wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi dan kabupaten kota.
Sesuai jargon orang banua, yang memiliki jargon brilliant, “haram manyarah, waja sampai kaputing”, saatnya jargon ini digelorakan kembali.
Jargon ini muncul dalam rangka melawan colonial asing, Belanda khususnya. Para pejuang banua masa lalu memiliki integritas yang luar biasa, tak pernah mau luluh oleh rayuan colonial Belanda, meski hidup masih susah. Rayuan Belanda masa lalu ditolak mentah-mentah, demi harga diri sebagai orang banua, yang bermartabat.
Maka itu, dalam upaya mencapai Indonesia maju, menjelang Indonesia Satu Abad tahun 2045 mendatang, mulai sekarang saatnya semua warga banua, menanamkan tekad yang sama, melawan segala macam rayuan yang merusak tata nilai kebudayaan dan ajaran agama (Islam) yang selama ini diyakini dan dipelajari. Ibadah yang selama ini telah dilaksanakan sehari-hari dengan baik dan rutin, harusnya diseimbangkan, dengan cara menolak semua rayuan gombal yang hari ini mulai bergentayangan. Merusak tradisi dan kebudayaan. Ini semua, semata untuk mensejajarkan kawasan banua tercinta, dengan nusantara Indonesia yang semakin makmur dan sejahtera. Wallahu a’lam bis-sawab … !!!